Senin, 16 Desember 2013

Gayatri atau Ken Dedes

Wajah di Belakang Prajnaparamita...
ARCA yang diyakini perwujudan ibu suri kerajaan Majapahit era Hayam Wuruk (masa keemasan majapahit), Gayatri Rajapatni dalam keadaan tidak utuh lagi di candi Boyolangu atau candi  Gayatri menurut penamaan warga di desa  dan kecamatan Boyolangu, kabupaten Tulungagung, JaTim.



Keyakinan sejarawan dari University of British Columbia, Kanada, Earl Drake, mengejutkan. Pada bukunya, ia menyatakan patung Prajnaparamita yang termasyhur itu adalah Gayatri Rajapatni. Bukan Ken Dedes seperti yang diyakini publik selama ini. Patung Prajnaparamita salah satu peninggalan artistik dari masa lalu Nusantara, mungkin paling terkenal di dunia Barat, mempesona pengunjung pameran museum dari Paris hingga Tokyo.
Pengajar sejarah dari Uneversitas Negri Malang (UNM), Deny Yudo Wahyudi mengaku sampai membaca buku itu, Gayatri Rajapatni, Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit (penerbit Ombak, Yogyakarta, 2012)berulang kali. Ia memahami Prajnaparamita adalah Ken Dedes, istri dari raja Singhasari Ken Arok. Ia membuat ulasan arkeologis tentang misteri yang terlanjur menjadi keyakinan masyarakat itu.
Ken Dedes hidup pada masa sekitar 100 tahun sebelum era Gayatri. Pemahamn selama ini, Ken Dedes adalah wajah dibalik Prajnaparamita. Saat ditemukan oleh pejabat kolonial Belanda tahun 1818, patung itu barada di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, tempat Candi Singosari berada. Daerah itu dinilai sabagai lokasi Singhasari.
Di pintu gerbang kota Malang, di Kecamatan Blimbing, patung Prajnaparamita yang dipahami patung Ken Dedes dibangun berukuran raksasa, sebagai ikon selamat datang. Ken Dedes digunakan untuk nama pusat kerajinan, juga galeri seni. Rumah Makan Inggil memasang patung itu di pintu nya.
Sulit memahami, saat patung ini harus dikenali dengan karakter lain, Gayatri Rajapatni. Dalam dokumentasi luar negri, seperti The Sculpture of Indonesia (National Gallery of Art, Washington, 1990), Drake sudah menyatakan Prajnaparamita adalah Gayatri Rajapatni.
Diskusi dengan Drake, Duta Besar Kanada untuk Indonesia (1982-1983) dan mantan Direktur Eksklusif Bank Dunia (1975-1982), yang berlangsung di UNM tidak bisa menghindarkan perdebatan soal ini. Posisi duduk Prajnaparamita menunjuk cara duduk pendeta Buddhis Dharmacakramudra, yang disebut Buddhis Iconography. Ini cocok dengan Negarakertagama, sumber utama yenyeng Majapahit. Gayatri saat dewasa memilih menjadi pendeta Buddha dan mengasingkan diri ke selatan. Padahal, agama kerajaan masih Hindu. Sebaliknya, karakter Ken Dedes lebih tepat dikaitkan dengan Dewi Hindu, Parvati. Ken Dedes berasal dari zaman Hindu di Singhasari.
Bagi Denny, buku Drake membuka perdebatan lama tentang siapa yang dipatungkan menjadi Prajnaparamita. “Ilmuwan sejarah masih berdebat, namun masyarakat terlanjur ada keputusan, bahwa Prajnaparamita adalah Ken Dedes. Kecantikan Ken Dedes terlanjur merasuk dalam cerita rakyat Jawa Timur sehingga patung yang cantik ini mudah diyakini sebagai wujud Ken Dedes”, katanya.
Arca dewa atau dewi pada situs kekunoan dipahami sebagai potret tokoh tertentu. Di balik wajah itu ada karakter manusia asli. Jika benar demikian, betapa cantiknya, siapapun perempuan yang menjadi wujud patung itu.
Gayatri sebagai karakter sejarah agak luput dari perhatian peneliti nasoinal. Menurut Drake ia dipuja Prapanca, pena penulis  Negarakertagama (Nagarakretagama atau Desawardana) yang rampung ditulis 1365.
Menurut Deny, biografi Gayatri agak samar karena tak banyak sumber sejarah pembadingnya. Namun Drake dengan pengalaman 20 tahun menelusuri sejarah Majapahit dan terpukau dengan peran Gayatri sebagai perempuan di tengah iklim patriarki pada peradaban kuno Singhasari dan Majapahit pada abad ke-14 itu. Ia juga berani menyejajarkan Gayatri dengan Cleopatra dari Mesir, perempuan “penakluk” Romawi.
“Hollywood yang membuat Cleopatra tampak besar. Gayatri tak hanya tokoh nasional di Majapahit, tetapi tokoh perempuan internasional pula. Wawasannya diwarisi dari ayahnya, raja besar Singhasari Kertanagara, yang berani menghadapi dominasi global Kubilai Khan” jelasnya.
Gayatri (wafat 1350), sebagai istri pendiri Majapahit, Raden Wijaya (1294-1309). Ia adalah perempuan yang mengasuh dua tokoh penting, Raja Hayam Wuruk (1350-1389), cucu Gayatri dan Maha Patih Gajah Mada. Keduanya yang melahirkan zaman keemasan Majapahit.
Gayatri diduga yang membangun wawasan nusantara, yang berlaku hingga kini, melampaui zamannya. Menurut Drake dan Deny, ia juga menjembatani perbedaam agama Hindu dan Budha yang tegang dan mendorong pluralisme di tanah Jawa pada zamannya. “Prestasi Hayam Wuruk mempersatukan nusantara melalui bantuan Gajah Mada yang berideologi Bhinneka Tunggal Ika, kesatuan dalam keberagaman. Gayatri patut diyakini sebagai orang di balik kebesaran Majapahit,” Jelas Drake.
Deni menduga ada keterkaitan antara Prajnaparamita dan Gayatri. Melalui analisis Drake, ia membenarkan patung Gayatri memenuhi gaya Majapahit Style, sebab bunga teratai pada tatakan  patung itu ada di luar vas. Artinya gaya Majapahit, bukan gaya Singhasari.
Menurut sejarawan dari Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar seperti dikutip Deni, arca Prajnaparamita dari Singosari pas dilekatkan dengan Gayatri. Negarakertagama mengasumsikan ada dua arca “pendarmaan” Gayatri. Yang satu di Prajnaparamitapuri, Bhayalangu.
Satu lagi, diduga kini berada di Museum Nasional Jakarta. Patung ini pernah diangkut ke Leiden, Belanda, sebelum dikembalikan ke Indonesia, Agus Arismunandar (2003), yakin Gayatri bukan Ken Dedes. 



Sources : Harian Umum Singgalang





Tidak ada komentar:

Posting Komentar